Informasi Utama


BAGI YANG MAU DAFTAR LES DI AL MUSTANIR BOJONEGORO, CP. WA 085732715640

Teks Berjalan

Menerima Siswa Les Tahun Pelajaran 2024-2025 Khusus Mapel Matematika Lokasi pendaftaran di Jalan Rel Loco RT 7/RW 2 Kalianyar Bojonegoro (DEPAN SDN KALIANYAR) Daftar bisa Via WA 085732715640 Ketik Nama Lengkap #Kelas#Sekolah BIAYA LES SEIKHLASNYA DI BAYAR SAAT DATANG LES

Sabtu, 11 Januari 2014

Renungan Maulid: Meneladani Rasulullah saw, Menerapkan Syariah, Menegakkan Khilafah Rasyidah

Al-Islam edisi 688, 8 Rabiul Awwal 1435-10 Januari 2014 

Peringatan maulid tanggal 12 Rabiul Awwal biasanya hanya diidentikkan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw. Padahal jika didalami perjalanan kehidupan Rasulullah saw dan sahabat, tanggal tersebut merupakan tanggal tiga peristiwa besar terkait kehidupan Nabi saw, risalah dan dakwah beliau. Tanggal tersebut merupakan maulid Nabi saw, sekaligus maulid Daulah Islamiyah pertama dan maulid Khilafah Rasyidah pertama. Ketiganya merupakan satu kesatuan rangkaian perjalanan kehidupan Nabi saw, dakwah dan risalah Beliau.
Maulid Nabi saw
Nabi SAW dilahirkan hari Senin 12 Rabiul Awal tahun Gajah di Makkah (Ibnul Qayyim, Zadul Maad, I/28). Kelahiran beliau itulah yang diperingati. Yang diperingati adalah kelahiran orang yang diberi nama Muhammad yang kelak diangkat oleh Allah SWT menjadi Nabi dan Rasul utusan-Nya. Kepadanya Allah turunkan wahyu dan risalah agar dia sampaikan kepada seluruh umat manusia. Peringatan maulid Nabi saw tidak bisa dilepaskan dari kedudukan beliau sebagai rasul utusan Allah; dan tidak boleh dilepaskan dari risalah yang beliau bawa dan dakwahkan. Peringatan maulid Nabi saw haruslah mengandung perenungan tentang sikap kita terhadap Nabi saw, dakwah beliau dan risalah yang beliau bawa, dan bagaimana kita menerjemahkan semua itu dalam kehidupan.
Dalam konteks ini, satu hal penting tidak boleh dilupakan. Yaitu bahwa beliau bukan hanya memiliki satu kedudukan sebagai Nabi saja. Tetapi, beliau menduduki dua kedudukan sekaligus: pertama, sebagai nabi dan rasul, dan kedua,sebagai penguasa yakni kepala negara. Hal itu bisa dibuktikan dengan nash al-Quran.
Sebagai Nabi dan Rasul, tugas beliau hanyalah menyampaikan risalah. Allah SWT berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika kamu berpaling sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (risalah Allah) dengan terang.” (TQS at-Taghabun [64]: 12)
Disamping itu, Nabi saw juga diperintahkan Allah untuk memutuskan perkara di antara manusia. Allah berfirman:
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TQS al-Maidah [5]: 48)
Perintah yang sama juga dinyatakan oleh Allah dalam ayat-ayat lainnya. Itu juga merupakan perintah kepada umat Islam untuk memutuskan perkara di tengah manusia, apa saja perkara itu, menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut syariah Islam. Sekaligus merupakan perintah untuk menerapkan hukum-hukum syariah secara total dalam seluruh perkara di tengah masyarakat.
Perintah kepada Nabi saw tersebut merupakan perintah kepada umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan hanya untuk beliau. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Maka hal itu juga menjadi perintah bagi seluruh kaum Muslim untuk memutuskan segala perkara yang terjadi, hanya dengan syariah Islam.
Maulid Daulah Islamiyah Pertama
Bulan Rabiul Awal adalah bulan Nabi saw berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Beliau mulai berhijrah meninggalkan Gua Tsur malam Senin tanggal 1 Rabi’ul Awal 1 H (16 September 622 M). Nabi saw. sampai di Quba’ hari Senin, 8 Rabiul Awal 1 H (23 September 622 M), lalu berdiam di sana empat hari (Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis). Lalu Nabi saw. memasuki Madinah hari Jumat 12 Rabiul Awal 1 H (27 September 622 M). (Shafiyurrahman Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (terj.), hal. 232-233; Ahmad Ratib Armusy, Qiyadatur Rasul, hal. 40).
Hijrah beliau lakukan setelah beliau dibaiat oleh 75 orang perwakilan kaum Anshar dari suku Aus dan Khazraj dalam peristiwa Baiat Aqabah II. Baiat Aqabah II ini merupakan akad penyerahan kekuasaan dari suku Aus dan Khazraj kepada Nabi saw. Itu merupakan akad pengangkatan Nabi saw sebagai kepala negara dan akad pendirian Daulah Islamiyah. (Al-Marakbi, Al-Khilafah Al-Islamiyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Muashirah, hal. 16). Maka secara hukum (de jure) Daulah Islamiyah pertama terbentuk pada saat itu.
Namun kepemimpinan Nabi saw sebagai penguasa dan kepala negara itu secara riil (de facto) baru terwujud ketika beliau tiba di Madinah pada tanggal 12 Rabiul Awal 1 H. Maka tanggal itu bisa dinyatakan sebagai maulid Daulah Islamiyah pertama.
Begitu tiba di Madinah, Nabi Faw. langsung melengkapi pilar negara, dengan melebur kaum Muhajirin dengan Anshar dengan jalan mempersaudarakan mereka atas dasar akidah Islamiyah. Berikutnya beliau membangun masjid Nabawi sebagai sentral kehidupan masyarakat sekaligus tempat beliau menjalankan berbagai aktivitas termasuk pemerintahan. Lalu beliau menyusun Piagam Madinah yang oleh para sejarahwan dinilai sebagai konstitusi modern pertama. Hal yang menonjol di dalamnya adalah akidah Islam dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan negara, dan syariah Islam sebagai hukum untuk mengatur segala urusan dan interaksi di masyarakat yang majemuk dari sisi etnis, dan agama, yang juga mencakup orang-orang non muslim baik orang musyrik, Nashrani dan Yahudi.
Berikutnya, Beliau mengangkat para pejabat negara, wali, ‘amil, para panglma dan komandan, para qadhi dan aparatur lainnya. Nabi saw mengirimkan berbagai ekspedisi militer dan memimpin langsung sejumlah perang di antaranya. Beliau mengirimkan utusan kepada para raja, pemimpin dan kaisar, disamping juga menerima delegasi dari mereka. Nabi saw. memutuskan perkara dan perselisihan yang diadukan kepada beliau. Beliau menjalankan hukum-hukum perekonomian, membagi zakat, menentukan kharaj, mengatur kepemilikan umum dan sebagainya. Ringkasnya, disamping menyampaikan risalah, Nabi saw. juga memimpin negara dan mengimplementasikan hukum-hukum syariah islam dalam segala aspek kehidupan. Hal itu terus beliau lakukan hingga beliau wafat. Semua itu merupakan teladan yang harus kita teladani dan bagian dari risalah Islam yang harus kita jalankan dan lanjutkan.
Tugas kenabian sudah berakhir dengan wafatnya Nabi SAW. Namun tugas kepemimpinan negara dan menerapkan syariah Islamiyah tidak berakhir, tetapi dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sebagai kepala negara Khilafah sepeninggal Nabi SAW. Sabda Nabi Muhammad SAW:
«كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ. كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ. وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ. وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ
“Dahulu Bani Israil diatur urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…” (HR Muslim).
Maulid Khilafah Rasyidah
Nabi saw. wafat hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H. (Ibnu Katsir, As-Sirah An-Nabawiyah, IV/507). Nabi saw. wafat pada waktu Dhuha hari Senin itu. Lalu sebagian sahabat menyibukkan diri untuk memilih pengganti Nabi sebagai kepala negara. Pemakaman jenazah Nabi saw pun ditunda dan para sahabat semuanya menyetujui hal itu dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Pada hari Senin itu pula, Abu Bakar ash-Shiddiq dipilih lalu dibaiat dengan baiat in’iqad sebagai khalifah. Esoknya pada hari Selasa, Abu Bakar ash-Shiddiq dibaiat oleh kaum muslimin di masjid dengan baiat tha’at. Setelah sempurna semua itu, Abu Bakar ash-Shiddiq memimpin prosesi pemakaman jenazah Rasul saw yang mulia pada pertengahan malam pada malam Rabu.
Jadi tanggal 12 Rabiul Awal menjadi tanggal wafatnya Nabi saw. Sekaligus menjadi tanggal maulid Khilafah Rasyidah dengan pimpinan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq untuk melanjutkan penerapan Syariah Islam dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia yang sebelumnya dilakukan dan dipimpin oleh Nabi saw. Khilafah Rasyidah itu pada hakikatnya adalah kelanjutan dan untuk melanjutkan daulah islamiyah dan segala aktivitasnya yang dirintis dan didirikan oleh Nabi saw. Eksistensi Khilafah Rasyidah itu dijaga betul oleh para sahabat. Khilafah Rasyidah itu adalah bagian dari sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang diperintahkan Nabi agar kita genggam erat. Nabi saw berpesan kepada kita:
« … فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ »
“…Maka kalian wajib berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. …” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Tirmidzi )
Wahai Kaum Muslimin
Ketiga peristiwa itu (maulid Nabi saw, maulid Daulah Islamiyah pertama dan maulid Khilafah Rasyidah) tidak bisa dipisahkan dan merupakan satu kesatuan dari rangkaian perjalanan kehidupan Nabi saw., risalah dan dakwah beliau. Ketiganya harus dipahami, direnungkan dan diambil pelajaran untuk diterjemahkan dalam sikap dan aktivitas saat ini dalam rangka meneladani Nabi saw.; menjaga, memelihara dan melanjutkan sunnah beliau; menerapkan Islam dan syariahnya yang beliau bawa; dan melanjutkan dakwah beliau dan mengemban risalah beliau, risalah Islam ke seluruh dunia. Hal itu harus diwujudkan dalam bentuk terlibat aktif dalam perjuangan untuk mewujudkan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh dan perjuangan untuk menegakkan Khilafah Rasyidah kedua yang mengikuti manhaj kenabian. Dan itulah sesungguhnya yang diperintahkan Rasul kepada kita umat Islam.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”(TQS an-Nur [24]: 63)
Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Cara Lain Memalak Rakyat

Al-Islam edisi 687, 1 Rabiul Awwal 1435 H – 3 Januari 2014 M 

Meski ada protes dan keraguan pemberi pelayanan kesehatan untuk berpartisipasi pada Jaminan Kesehatan Nasional yang akan diterapkan 1 Januari 2014, cukup banyak klinik, puskesmas atau rumah sakit yang bergabung.
Menurut Wamenkes, Ali Ghufron Mukti, sejauh ini ada sekitar 15.800 dokter praktek mandiri, klinik dan puskesmas yang akan memberi pelayanan kesehatan dasar. Pelayanan tingkat lanjutan akan dilakukan sekitar 1.700 rumah sakit pemerintah dan swasta yang tersebar di Indonesia. (Kompas, 30/12/2013).
Bukan Jaminan, Tapi Asuransi Kesehatan Nasional
Katanya jika program JKN sempurna, seluruh rakyat akan mendapat jaminan kesehatan. Katanya, jika JKN sudah jalan, rakyat akan mendapat pelayanan kesehatan gratis.
Itu hanya propaganda. Realitanya justru sebaliknya. Yang ada bukanlah jaminan kesehatan nasional, akan tetapi asuransi kesehatan nasional. Dua hal yang sangat berbeda bahkan berkebalikan.
Pelaksanaan JKN per 1 Januari 2014 ini adalah amanat dari UU No. 40 th. 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 th. 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).
UU SJSN Pasal 19 ayat 1 menegaskan: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Prinsip asuransi sosial adalah mekanisme pengumpulan dana bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya(Pasal 1 ayat 3). Prinsip ekuitas artinya tiap peserta yang membayar iuran akan mendapat pelayanan kesehatan sebanding dengan iuran yang dibayarkan.
UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan kesehatan menjadi kewajiban rakyat. Hak rakyat justru diubah menjadi kewajiban rakyat. Konsekuensinya, rakyat kehilangan haknya untuk mendapat jaminan kesehatan yang seharusnya wajib dipenuhi oleh negara.
UU ini “menghilangkan” kewajiban dari negara dan memindahkannya ke pundak rakyat. Rakyat wajib menanggung pelayanan kesehatannya sendiri dan sesama rakyat. Itulah prinsip kegotong-royongan SJSN yaitu prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4).
Bukan Gratis, Tapi Wajib Bayar
Dalam sistem JKN ini tidak ada yang gratis. Justru seluruh rakyat wajib membayar dahulu, tiap bulan. JKN adalah asuransi sosial. Hanya peserta yang membayar premi yang akan dapat layanan kesehatan JKN. Itu wajib bagi seluruh rakyat sesuai prinsip kepesertaan wajib UU SJSN. Yakni seluruh penduduk wajib jadi peserta asuransi sosial kesehatan (JKN), dan tentu wajib membayar premi/iuran tiap bulan. Pasal 17: “(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.”
Iuran untuk orang miskin dibayar oleh pemerintah (ayat 4) dan mereka disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI), atas nama hak sosial rakyat. Tapi hak itu tidak langsung diberikan kepada rakyat, tetapi dibayarkan kepada pihak ketiga (BPJS) dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak. Jadi realitanya, rakyat diwajibkan membiayai layanan kesehatan diri mereka dan sesama rakyat lainnya.
Jadi tidak ada yang gratis untuk rakyat. Justru rakyat wajib bayar iuran, baik layanan itu ia pakai atau tidak. JKN lebih tepat disebut layanan kesehatan prabayar, persis seperti layanan telepon prabayar. Sebab setiap rakyat wajib bayar premi (iuran) tiap bulan, baik layanan itu dimanfaatkan bulan itu atau tidak. Jika tidak bayar maka tidak akan mendapat manfaat layanan kesehatan JKN.
Besarnya iuran per bulan telah ditetapkan. Dalam Perpres ditetapkan nominal iuran PBI per jiwa Rp. 19.225, akan mendapat layanan rawat inap kelas 3. Iuran PNS/TNI/Polri/pensiunan sebesar 5% per keluarga (2% dari pekerja dan 3% dari pemberi kerja) dan akan dapat layanan rawat inap kelas 1 untuk golongan III ke atas atau yang setara, dan rawat inap kelas 2 untuk di bawah golongan III.
Untuk pekerja penerima upah selain PNS dan lainnya, iuran ditetapkan 4,5% per keluarga (0,5% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) hingga 30 Juni 2015, dan menjadi 5% per keluarga (1% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja) mulai 1 Juli 2015. Mereka akan mendapat layanan rawat inap kelas 1 jika bergaji lebih dari dua kali pendapatan tidak kena pajak (sekitar Rp. 4 juta) dan rawat inap kelas 2 jika bergaji di bawahnya. Jika pekerja bergaji Rp 2 juta, sampai 30 Juni 2015, ia harus membayar Rp. 10 ribu per keluarga (untuk 5 anggota keluarga), dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Dan mulai 1 Juli 2015, tiap pekerja harus membayar Rp. 20 ribu, dan pemberi kerja harus membayar Rp. 80 ribu untuk tiap pekerjanya. Jadi pemberi kerja tiap bulan harus membayar Rp. 80 ribu dikalikan jumlah pekerjanya.
Sementara untuk pekerja bukan penerima upah (bekerja sendiri) atau bukan pekerja, iuran Rp. 25.500 per jiwa (layanan rawat inap kelas 3), Rp. 42.500 per jiwa (rawat inap kelas 2), dan Rp. 59.500 per jiwa (rawat inap kelas 1). Untuk satu keluarga tinggal dikalikan jumlah anggota keluarga. Jumlah itulah yang wajib dibayarkan tiap bulan.
Jika ada biaya lebih dari yang dikover JKN, maka harus dibayar sendiri. Masalahnya, tarif yang ditetapkan sangat kecil. Contohnya, untuk RS Pratama, praktik dokter, dan fasilitas kesehatan yang setara tarif yang dikover hanya Rp. 8.000-10.000 per peserta per bulan; praktek dokter gigi malah hanya Rp 2.000.
Perpres tentang JKN, menetapkan prosedur layanan JKN, bahwa peserta harus mendapat pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar. Di fasilitas lain hanya boleh jika di luar wilayah atau kegawatdaruratan medis. Itu artinya, meski masih di kota yang sama, jika bukan di tempat peserta terdaftar, tidak akan dikover oleh JKN, artinya harus bayar sendiri.

“Memalak” Rakyat, Himpun Dana
JKN (Jaminan Sosial Nasional) merupakan cara lain memungut dana secara wajib – “memalak”- seluruh rakyat. Tiap orang akan terkena pungutan. Pemberi kerja akan terkena pungutan sangat besar. Makin banyak pekerjanya, makin besar pungutan yang harus dibayarnya. Biaya itu bisa saja dimasukkan harga jual produk/jasa. Maka beban seluruhnya kembali kepada rakyat pada umumnya.
Lebih menyesakkan lagi, jika telat bayar, tidak diberi layanan, bisa didenda, bahkan tidak diberi pelayanan administratif publik seperti ngurus KTP, akte, sertifikat, IMB, dsb. Pemberi kerja atau kepala keluarga yang tidak mendaftarkan pekerja atau anggota keluarganya, bisa dikenai sanksi bahkan sampai sanksi pidana. Inilah kezaliman luar biasa. Sudah dipalak, jika telat dijatuhi sanksi, jika menghindar bisa dipidana.
Itulah “pemalakan” rakyat untuk menghimpun dana besar. Kompas (26/12) menyebutkan, penyelenggara jaminan kesehatan diperkirakan akan mengumpulkan dana iuran peserta sedikitnya Rp. 80 triliun per tahun. Akumulasi dana ini akan bertambah besar saat BPJS ketenagakerjaan beroperasi penuh pada 1 Juli 2015 dan menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian dan jaminan pensiun.
Dana Jaminan Sosial itu wajib disimpan dan diadministrasikan di bank kustodian yang merupakan BUMN (Pasl 40 UU BPJS). Artinya Bank BUMN bisa mendapat sumber dana baru. Sesuai amanat Pasal 11 UU BPJS, dana itu diinvestasikan. Tentu dalam bentuk surat berharga, termasuk Surat Utang Negara dan surat berharga swasta. Dengan itu, negara dapat sumber dana baru. Selain negara, swasta dan para kapitalis juga akan menikmati dana itu yang diinvestasikan melalui instrumen investasi mereka. Mungkin karena itulah Barat (khususnya melalui Bank Dunia, IMF, ADB, USAID) sangat getol bahkan mendekte agar SJSN dalam bentuk asuransi sosial itu segera eksis dan berjalan.
Islam: Pelayanan Kesehatan Kewajiban Negara
Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq), yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara sesuai dengan sabda Rasul saw:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)

Secara praktis, penyediaan layanan kesehatan gratis telah dipraktekkan dan dicontohkan oleh Nabi saw sebagai kepala negara, dan para Khulafa’ur Rasyidin. Hal itu menjadi sunnah Nabi saw dan ijmak sahabat bahwa negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat. Itu menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan layanan kesehatan yang diperlukan tanpa memandang tingkat ekonominya.
Dana untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditetapkan syariah. Bisa dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, seperti hutan, bermacam tambang, migas, panas bumi, hasil laut dan kekayaan alam lainnya. Juga dari kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat.
Namun semua itu hanya bisa terwujud, jika Syariah Islam diterapkan secara total dalam sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Untuk itu, kewajiban kita semua, umat Islam, untuk sesegera mungkin mewujudkannya. Lebih dari itu, mewujudkannya adalah kewajiban syar’i dan konsekuensi dari akidah Islam yang kita yakini. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Refleksi Akhir Tahun 2013 RAPOT MERAH REZIM SEKULER

[Al-Islam edisi 686, 23 Shafar 1435 H – 27 Desember 2013 M]

Indonesia, negeri kaya tapi tak henti dirundung nestapa. Nasib serupa dialami kaum Muslim di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, dinamika politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam selama 2013 menunjukkan betapa negeri ini belum mapan dan jauh dari harapan.
Politik: Demokrasi dan Gurita Korupsi
Tahun 2013, tahun penting menjelang suksesi kepemimpinan. Parpol pun berancang-ancang berebut kekuasaan. Puluhan parpol mendaftar, namun hanya 12 parpol yang berhak berebut suara di pemilu. Hampir semuanya partai lama. Kalau pun baru, orangnya stok lama.
Di saat yang sama, tabir busuk parpol mulai terkuak. Syahwat mengumpulkan uang dengan segala cara untuk membiayai proses politik demokrasi tak bisa ditahan lagi. Jadilah parpol menjadi sarang para koruptor. Wakil-wakil rakyat satu per satu dicokok oleh KPK.
Korupsi juga dilakukan oleh birokrat di berbagai sektor. Dilakukan oleh pejabat berbagai kementerian, jenderal polisi, kepala SKK Migas, badan yang mengurusi pengelolaan usaha hulu migas, bahkan ketua MK.
Korupsi juga menyebar ke seantero negeri, dilakukan oleh para kepala daerah. Kemendagri mencatat, 309 kepala daerah terjerat kasus korupsi sejak pilkada langsung pada 2005, baik berstatus tersangka, terdakwa maupun terpidana. Dirjen Otda Djohermansyah Djohan menilai faktor utama semua itu adalah tingginya biaya politik selama pilkada.
Itulah mengapa, muncul politik dinasti. Begitu ada yang berkuasa, kekuasaan terus dipertahankan pada dinastinya. Pakar menyebutnya ‘cacat bawaan demokrasi’.
Sebab mendasarnya adalah bobrok dan rusaknya sistem politik demokrasi. Cukuplah jadi bukti, banyaknya pejabat politik, politisi dan kepala daerah yang merupakan produk langsung demokrasi, ramai-ramai terjerat korupsi. Bahkan begitu rusaknya sistem ini, siapapun yang masuk ke dalamnya, yang semula baik, akhirnya terseret juga dan yang berusaha bertahan untuk tetap baik harus terus makan hati, jika tidak terpental.
Ekonomi: Jago Utang, Dikuasai Asing
Hingga November 2013, utang pemerintah mencapai Rp 2.354,54 triliun, naik Rp 376,83 triliun (Rp 34,26 triliun perbulan) dari utang di akhir 2012 sebesar Rp 1.977,71 triliun.
Utang menjadi andalan Indonesia karena kekayaan alam telah digadaikan kepada asing. Rektor UGM Prof Pratikno mengatakan, hingga September aset negara sekitar 70-80 persen telah dikuasi oleh asing. Asing telah menguasai 50 % aset perbankan, 70-75% sektor migas dan batubara, 70% sektor telekomunikasi, bahkan 80-85% hasil pertambangan emas dan tembaga.
Dalam situasi seperti itu, pemerintah tak berkutik, titah asing tak bisa ditolak. Dengan berbagai dalih dan alasan, mulai Sabtu (22/6/2013) harga BBM bersubsidi dinaikkan pemerintah. Premium menjadi Rp 6.500 perliter dan solar Rp 5.500 perliter.
Itu terjadi di tengah dampak krisis ekonomi yang belum pulih, membuat rakyat makin susah, dan ekonomi negeri ini melambat. Kemiskinan pun terus tak terpecahkan. BPS mencatat, per Maret 2013 masih ada 28,7 juta orang miskin atau 11,37%. Tapi, jumlah penerima raskin 2013 sebelum kenaikan BBM ada 15,5 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS), atau 62 juta orang (asumsikan satu keluarga 4 orang). Jumlah RTS penerima BLSM malah lebih besar lagi.
Fakta lapangan menunjukkan kemiskinan cenderung makin kronis. Ini pula yang dirasakan Gubernur DKI Joko Widodo. Saat sidang paripurna DPRD DKI Jakarta April 2013, Jokowi memaparkan penduduk miskin pada September 2012 berjumlah 366.770 orang (3,70 %), lebih tinggi dari angka pada September 2011 berjumlah 355.200 orang (3,64 %).
Angka pengangguran ikut menegaskan. BPS mencatat, pengangguran terbuka ada 7,39 juta orang per Agustus 2013 (6,25 % ), meningkat 6,14 % dari periode yang sama 2012 berjumlah 7,24 juta orang.
Belanja APBN-P 2013 sebesar Rp 1.726,19 triliun dinaikkan Rp 116,2 triliun menjadi Rp 1.842,4 triliun di APBN 2014. Ironisnya, pengeluaran APBN lebih banyak untuk kepentingan birokrasi termasuk untuk fasilitas dan perjalanan dinas, dan untuk bayar utang dan bunganya. Sebaliknya, pengeluaran langsung kepada rakyat—diantaranya subsidi— terus dikurangi.
Di sisi penerimaan dinaikkan dari Rp 1.502 triliun (APBN-P 2013) menjadi Rp. 1.667,1 triliun di APBN 2014. Penerimaan dari pajak dinaikkan dari Rp. 1.148,36 triliun (76,5%) menjadi Rp 1.280,4 triliun (76,8%). Artinya, beban pungutan pajak atas rakyat makin bertambah. Lagi-lagi pemerintah lebih suka menambah beban pungutan terhadap rakyat, sementara kekayaan alam milik rakyat justru diserahkan kepada swasta terutama asing.

Sosial Budaya: Kian Rusak dan Liberal
Tahun 2013 banyak terjadi konflik horisontal. Demokrasi yang diangankan melahirkan tatanan masyarakat yang lebih baik ternyata sebaliknya. Masyarakat kian liberal dan terputus jalinan persaudaraannya.
Konflik antar anggota masyarakat terjadi hampir harian. Banyak masalah berujung pada kekerasan dan anarkisme. Bentrok antarkampung, antarsuku, antarpreman, antarsekolah, antarormas, antarpendukung calon kepala daerah, bahkan antargeng kerap terjadi. Dan negara tampak tak berdaya.
Budaya kekerasan ini berimbas kepada lahirnya manusia-manusia sadis. Kriminalitas tumbuh sangat mengkhawatirkan. Pembunuhan makin beragam modus operandinya.
Sementara kalangan remaja tergerus moralnya. Seks bebas menggejala. Video mesum tak hanya dibuat kalangan dewasa, tapi remaja hingga siswa SMP. Bahkan ada pelajar SMP di Surabaya yang memucikari kawan-kawannya sendiri.
Di sisi lain, pendidikan gagal melahirkan generasi terbaik. Banyak koruptor justru pernah mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan diantaranya ada yang bergelar profesor dan doktor. Terbukti, pendidikan yang berjalan, kering dari nilai-nilai moral dan etika, apalagi agama. Yang terlahir justru generasi yang permisif, hedonis, materialis, dan individualis.

Internasional: Umat Islam Teraniaya
Situasi dunia Islam belum berubah. Bahkan di beberapa tempat makin buruk. Umat Islam menjadi keganasan berbagai rezim. Di Suriah, lebih dari 125 ribu Muslim dibantai oleh rezim Bashar Assad. Anehnya, dunia membiarkan pembunuhan massal tersebut.
Di Palestina, umat Islam masih menjadi bulan-bulanan tentara Israel. Rumah mereka dihancurkan dan diganti permukiman Yahudi. Bahkan bagian bawah Masjid Al-Aqsha dibuat terowongan untuk membangun tempat peribadatan kaum terlaknat itu. Umat Islam di Gaza diblokade dari segala penjuru. Terowongan yang menghubungkan Gaza-Mesir dihancurkan. Sementara itu, di Afghanistan umat Islam terus dijajah oleh Amerika Serikat dan penguasanya sendiri.
Di belahan dunia lainnya, kaum minoritas Muslim terus jadi bulan-bulanan. Muslim di Xinjiang (Cina), Rohingya (Myanmar), dan Pattani (Thailand) berjuang untuk membebaskan diri dari kekejaman rezim penguasa. Sementara di Barat, minoritas Muslim sering mendapatkan perlakukan diskriminatif. Mereka semua tak bisa berbuat banyak, kecuali bertahan dan membela diri dengan kemampuan yang ada

Menarik Ibrah
Pertama, Setiap penerapan sistem sekuler, yakni sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta, pasti akan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi umat manusia. Sebab Allah SWT mengingatkan:
﴿وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾
Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (TQS al-A’raf [7]: 96)

Maka semua itu semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur, terutama kapitalisme dan kembali kepada jalan yang benar, yang diridhai oleh Allah SWT.
Kedua, dalam kenyataannya Barat tak pernah membiarkan rakyat di negeri-negeri muslim membawa negaranya ke arah Islam. Mereka selalu berusaha agar sistem yang diterapkan tetaplah sistem sekuler meski dibolehkan dengan selubung Islam, dan penguasanya tetaplah mau berkompromi dengan kepentingan Barat. Itulah yang terjadi saat ini di negeri ini, sebagaimana tampak dari proses legislasi di parlemen dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah, khususnya di bidang ekonomi dan politik yang lebih menguntungkan kepentingan Barat. Cengkeraman Barat juga tampak di negeri-negeri muslim yang tengah bergolak seperti di Suriah, begitu juga di Mesir dan negeri- negeri lain di kawasan Timur Tengah. Kenyataan ini juga semestinya memberikan peringatan umat Islam untuk tidak mudah terkooptasi oleh kepentingan penjajah. Juga peringatan kepada penguasa dimanapun untuk menjalankan kekuasaannya dengan benar, penuh amanah demi tegaknya kebenaran Islam, bukan demi memperturutkan nafsu serakah kekuasaan dan kesetiaan pada negara penjajah.
Ketiga, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya sistem yang berasal dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Islam. Dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu. Di sinilah esensi seruan Selamatkan Indonesia Dengan Syariah yang gencar diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
Keempat, Karena itu seluruh komponen umat Islam harus bekerja sama dan berusaha sungguh-sungguh penuh keikhlasan dan kesabaran untuk menghentikan sekularisme dan menegakkan syariah dan khilafah. Hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh seorang khalifah, Indonesia dan juga dunia, benar-benar bisa menjadi baik. Syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan dan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian sehingga kezaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Bahaya Budaya Natal (Bersama) Mengancam Umat

[Al-Islam edisi 685, 20 Desember 2013 M – 16 Shafar 1435 H]

Selama bulan Desember, suasana kristiani begitu terasa. Asesoris khas Natal ada di mana-mana. Lagu-lagu kristiani terus diperdengarkan. Para pelayan dan pegawai diharuskan memakai atribut Natal dan yang terfavorit asesoris Sinterklas. Tak sedikit dari mereka adalah muslim, bahkan ada yang berkerudung. Seringkali mereka merasa terpaksa, jika tidak melakukannya mereka takut diberhentikan (dipecat).
Hampir semua media, terutama media elektronik, dijejali acara bernuansa Natal dan Tahun Baru. Walhasil, negeri muslim ini selama bulan Desember seolah menjelma layaknya negeri kristen.

Sarat Motif Ekonomi dan Politik
Secara ekonomi, para kapitalis paling banyak untung dari semarak Nata. Di Barat, penjualan ritel meningkat tajam di akhir tahun. Di Amerika Serikat, menurut data US Census Bureau, rata-rata kenaikan penjualan ritel di bulan Desember adalah yang tertinggi, mencapai 16 persen dengan pangsa pasar 10 persen dari total penjualan dalam setahun. Inilah yang disebut sebagai christhmas season.
Di negeri Muslim, para pebisnis yang rata-rata Kristen pun ingin meraup untung seperti di negeri Kristen. Mereka ingin Natal bisa seperti momentum Idul Fitri di mana penjualan dapat mencapai 20-30 persen dari total penjualan dalam setahun. Diantara caranya, semarakkan menyambut Natal dengan pesta diskon dan bermacam hadiah, dengan disertai semarak asesoris dan suasana Natal.
Selain motif ekonomi, motif politik juga tak ketinggalan. Kaum Kristen ingin menunjukkan eksistensi dan mungkin dominasi mereka di negeri muslim. Disamping itu, moment Natal dijadikan momen terpenting untuk menanamkan ide sinkretisme dan pluralisme. Jika ini berhasil maka akidah umat akan makin lemah.
Semarak Natal pun sarat dengan proyek westernisasi, menanamkan budaya Barat agar dekat kepada kaum Muslim dan bahkan diadopsi. Ditampakkanlah budaya hura-hura, pergaulan bebas, dan menghambur-hamburkan harta dalam momentum Natal dan Tahun Baru. Kaum Muslim didorong sedemikian rupa agar mengambil budaya Barat dan makin jauh dari budaya Islam.
Patut diingat, misi Kristen tidak lepas dari misi penjajahan. Itu adalah bagian dari trilogi penjajahan yakni gold, glory, dangospel (kekayaan alam, kejayaan, dan kristenisasi). Maka pembaratan tidak bisa dipisahkan dari upaya misionaris menggiring umat Islam keluar dari agamanya.

Sarat Misi Kristen, Pluralisme, dan Sinkretisme
Monentum Natal dijadikan ajang untuk mengemban misi menyebarkan misi Kristen. Karenanya umat Kristiani sangat serius merayakan Natal dan Tahun Baru untuk menarik minat kaum lainnya, termasuk Islam. Perayaan Natal Bersama (PNB), dijadikan salah satu uslub penting untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin kepercayaan Kristen, dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat, manusia akan selamat. Karena itulah, ajakan untuk bersama-sama ikut merayakan natal atau setidaknya mengucapkan selamat natal begitu gencar dengan berbagai bentuk, cara, dan dalih.
Seruan ikut serta dalam perayaan Natal, tak lain adalah kampanye ide pluralisme yang mengajarkan kebenaran semua agama. Ajaran ini mengajak umat untuk menganggap agama lain juga benar. Khusus dalam konteks natal, itu berarti umat muslim didorong untuk menerima kebenaran ajaran kristen, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus.
Seruan itu juga merupakan propaganda sinkretisme, pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal bersama dan tahun baru, sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan kafir, batasan halal dan haram adalah sangat jelas. Tidak boleh dikompromikan!
Jika mereka menyambut dan memberi penghargaan karena umat Islam telah menerima apalagi ikut serta dalam perayaan Natal bersama, maka sungguh itu adalah ukuran bahwa umat telah mengikuti millah, jalan hidup dan agama mereka. Sebab Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firman-Nya:
﴿وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ﴾
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (TQS al-Baqarah [2]: 120)

Haram Ikut Merayakan atau Mengucapkan Selamat Natal
Ucapan selamat mengandung doa dan harapan kebaikan untuk orang yang diberi selamat. Juga menjadi ungkapan kegembiraan dan kesenangan bahkan penghargaan atas apa yang dilakukan atau dicapai oleh orang yang diberi selamat.
Sementara perayaan Natal adalah peringatan kelahiran anak Tuhan dan Tuhan anak. Dengan kata lain itu adalah perayaan atas kesyirikan menyekutukan Allah SWT. Lalu bagaimana mungkin, umat Islam mengucapkan selamat, dengan semua kandungannya itu, kepada orang yang menyekutukan Allah? Padahal jelas-jelas, Allah SWT menyatakan mereka adalah orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72-75), yang di akhirat kelak akan dijatuhi siksaan yang teramat pedih. Disamping itu, keyakinan Trinitas di sisi Allah adalah dosa dan kejahatan yang sangat besar, kejahatan yang hampir-hampir membuat langit pecah, bumi belah, dan gunung-gunung runtuh (lihat QS Maryam [19]: 90-92).
Jadi jelas sekali, mengucapkan selamat Natal dan selamat hari raya agama lain adalah haram dan dosa. Apalagi jika justru ikut serta merayakannya, tentu lebih haram dan lebih berdosa.
MUI telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk menghadiri perayaan Natal Bersama. Dalam fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, MUI diantaranya menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, juga sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram.
Ikut merayakan Natal dan hari raya agama lain hukumnya jelas haram dan bertentangan dengan al-Quran. Ada beberapa alasan yang mendasari.
Pertama, Allah SWT berfirman:
]وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا[
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS al-Furqan [25]: 72).

Az-zûra ini meliputi semua bentuk kebatilan. Yang paling besar adalah syirik, dan mengagungkan sekutu Allah. Karena itu Ibn Katsir mengutip dari Abu al-‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, az-zûra itu adalah hari raya kaum Musyrik. (Tafsir Ibnu Katsir, iii/1346).
Menurut asy-Syawkani, kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna az-zûra, tidak menghadirinya (Fath al-Qadîr, iv/89). Menurut al-Qurthubi, yasyhadûna az-zûra ini adalah menghadirkan kebohongan dan kebatilan, serta menyaksikannya. Ibn ‘Abbas, menjelaskan, makna yasyhadûna az-zûra adalah menyaksikan hari raya orang-orang musyrik. Termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya mereka.
Kedua, perayaan Natal adalah bagian dari ajaran agama, karena itu merayakannya bagian dari ritual agama mereka. Orang Islam yang merayakannya, bukan hanya maksiat, tetapi bisa sampai murtad jika disertai dengan I’tiqad, karena, telah melakukan ritual agama lain.
Ketiga, Rasul melarang kita menyerupai (tasyabbuh) kaum kafir, maka lebih dari menyerupai tentu lebih tidak boleh lagi. Merayakan Natal, bukan hanya menyerupai orang Kristen, tetapi lebih dari itu justru telah mempraktikkan bagian dari ritual mereka.
Selain tidak boleh menghadiri Natal Bersama, kaum Muslim juga dilarang ikut menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan. Allah berfirman:
﴿إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang suka perkara keji (fakhisyah) itu tersebar di tengah-tengah orang Mukmin, maka mereka berhak mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (TQS an-Nur [24]: 19)

Menyebarkan fakhisyah itu bukan hanya masalah pornografi dan pornoaksi, tetapi juga semua bentuk kemaksiatan. Menyemarakkan Perayaan Natal, meramaikan dan menyiarkannya jelas menyebarluaskan kekufuran dan syirik yang diharamkan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslimin menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, i/235).
Para ulama dahulu juga telah jelas menyatakan haramnya menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Baihaqi menyatakan, “Kaum Muslimin diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” Al-Qadhi Abu Ya’la berkata, “Kaum Muslimin telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslimin dilarang untuk merayakan hari raya kaum musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).

Wahai kaum Muslimin
Tak sepantasnya umat terpedaya ikut merayakan Natal dan hari raya agama lain. Realita yang ada ini bukti, penjagaan akidah itu butuh kekuasaan yang menjunjung kedaulatan syara’ dan menerapkan syariah Islam, tidak lain adalah Khilafah Islamiyah Rasyidah. Tugas kitalah untuk segera mewujudkannya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []