Informasi Utama


BAGI YANG MAU DAFTAR LES DI AL MUSTANIR BOJONEGORO, CP. WA 085732715640

Teks Berjalan

Menerima Siswa Les Tahun Pelajaran 2024-2025 Khusus Mapel Matematika Lokasi pendaftaran di Jalan Rel Loco RT 7/RW 2 Kalianyar Bojonegoro (DEPAN SDN KALIANYAR) Daftar bisa Via WA 085732715640 Ketik Nama Lengkap #Kelas#Sekolah BIAYA LES SEIKHLASNYA DI BAYAR SAAT DATANG LES

Sabtu, 06 Oktober 2012

ARTIKEL 2

[60] Iran Memang Negeri Para IlmuwanPDFPrintE-mail
Wednesday, 23 November 2011 16:49
Satu halaman dari Qanun fit Thib, 1593 M.
Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Iran adalah sebuah negeri yang unik.  Setelah revolusi Islam, tidak ada orang asing datang ke Iran untuk mencari hiburan.  Nyaris tidak ada hiburan di sana – kalau hiburan itu diartikan pesta minum-minuman keras, berjudi, bermalas-malasan di pantai, ataupun mencari seks.  Mereka yang hari-hari ini ke Iran datang untuk mencari alam yang indah (seperti kelompok “Kartini Petualang” yang akan mendaki gunung Damavand), spiritualitas (mengunjungi kota suci Syiah Qom), mencari celah bisnis (mumpung di Iran sejak diembargo tidak ada lagi perusahaan Amerika seperti Coca Cola, McDonald atau Microsoft!) atau berinteraksi dengan para ilmuwan Iran.
Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa lalu, bahkan juga dari masa pra Islam.  Nama-nama intelektual besar Islam “hadir” dalam kehidupan sehari-hari.  Banyak jalan, taman atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu.  Daftar ilmuwan Islam di era keemasan Islam yang pernah lahir, dibesarkan atau berkarya di wilayah Iran sekarang amatlah panjang.  Yang paling terkenal saja (dan diabadikan sebagai nama jalan, taman, lapangan) ada lebih dari 200 ilmuwan.  Berikut ini cuplikannya saja.
Di bidang matematika ada Abū Abdallāh Muḥammad ibn Mūsā al-Khwārizmī lahir 780 M di Khwarezm, Provinsi Khurasan Raya yang dulu meliputi Iran dan Uzbekistan sekarang.  Al-Khwarizmi sangat berjasa dalam penggunaan angka desimal dalam Matematika, serta penggunaan aljabar dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang membutuhkan perhitungan rumit dengan menggunakan persamaan matematika.  Namanya abadi dalam istilah “Algoritma” sebagai langkah-langkah yang harus diikuti secara konsisten agar suatu persoalan dalam diselesaikan secara matematis dengan hasil yang tepat dan juga konsisten.  Al-Khwarizm yang kemudian bekerja di Baitul Hikmah di Baghdad, wafat pada 850 M.
Di bidang astronomi ada Abū al-Abbās Aḥmad ibn Muḥammad ibn Katsīr al-Farghānī alias Alfraganus pada abad 9 M.  Dia terlibat dalam perhitungan diameter bumi melalui pengukuran meridian dalam sebuah tim bentukan Khalifah al-Ma’mun.  Bukunya tentang “elemen-elemen astronomi dan gerakan benda langit” yang ditulis pada 833 M diterjemahkan ke bahasa Latin pada abad-12 dan sangat populer di Eropa hingga era Johannes Müller von Königsberg (1436–1476), astronom Jerman yang lebih terkenal dengan julukan Regiommontanus.  Al-Farghani kemudian bekerja di Mesir membangun sistem peringatan dini sungai Nil (Nilometer) pada 856 M dan wafat di Cairo.
Di bidang kimia ada Abu Musa Jābir ibn Hayyān (Geber) yang lahir tahun 721 M di Tus Khorasan, Iran dan wafat 815 M in Kufah, Iraq. Selain dikenal terutama sebagai pendiri kimia eksperimental (yang membersihkan unsur sihir dari ilmu kimia), dia juga seorang astronom, geologist, dokter dan insinyur.  Dia menulis 193 buku dalam semua bidang ilmu yang dikuasainya itu.
Di bidang kedokteran ada Abū Alī al-Ḥusayn ibn Abd Allāh ibn Sīnā (Avicenna), yang  lahir tahun 980 M di Afshana, masuk Provinsi Khurasan Raya.  Ayahnya Abdullah dari Balkh, kini masuk Afghanistan; ibunya dari Bukhara, kini masuk Uzbekistan.  Ibnu Sina menulis hampir 450 makalah tentang topik yang sangat luas, termasuk 150 di bidang filsafat dan 40 terfokus pada kedokteran.  Namun bukunya yang paling legendaris adalah “Qanun fit Thib” (Canon of Medicine) yang merupakan buku standard medis di Eropa hingga abad-18.  Ibnu Sina wafat di Hamadan, Iran 1037 M.
Monumen al-Biruni di Laleh Park, dekat Univ. of Teheran
Di bidang ilmu bumi ada Abū al-Rayḥān Muḥammad ibn Aḥmad al-Bīrūnī (Alberonius) yang lahir 973 M di Kats, Khwarezm  (sama seperti al-Khwarizm) dan wafat 1048 M di Ghazni, semua di Iran.  Dia adalah seorang polymath yang menghasilkan banyak karya terutama di bidang ilmu bumi, tetapi juga di matematika, astronomi, anthropologi, psikologi dan kedokteran.
Pada masa rezim sekuler Syah Iran, prestasi sains dan teknologi Iran sempat sangat terpuruk.  Tetapi sejak revolusi Islam, trend-nya berbalik.  Apalagi embargo yang diterapkan Amerika dan sekutunya pada Iran membuat Iran mau tak mau harus berdiri dengan kaki sendiri.  Ini justru membuat prestasi Iran melonjak.
Menurut Science Metrix Report – sebuah lembaga di Inggris, pertumbuhan sains dan teknologi Iran, diukur dari jumlah publikasi ilmiah internasional dan paten teknologi, naik 1000 persen antara 1995-2004.  Tahun 2008, Iran sudah menghasilkan 1.08 persen dari total output sains dunia.  Iran memiliki 500 saintis per sejuta orang, yang bekerja dalam riset dan pengembangan (bandingkan dengan Indonesia yang kurang dari 50 saintis per sejuta orang).  Iran adalah negara ke-9 di dunia yang berhasil membuat roket dan satelit serta meluncurkannya sendiri ke orbit.  Negara sebelumnya adalah AS, Russia, Perancis, India, Israel, China, Jepang dan Konsorsium Eropa (ESA).
Kalau Iran sendirian dengan revolusi Islamnya saja bisa bangkit demikian, apatah lagi kalau Khilafah yang bangkit dan mempersatukan potensi negeri-negeri muslim sedunia serta menjadi magnet bagi para saintis Muslim yang saat ini bertebaran di dunia Barat.

ARTIKEL

Dicari Menantu seorang MuadzinPDFPrintE-mail
Tuesday, 25 September 2012 23:39
Gambar dalam manuskrip karya Qutubuddin al-Syairazi (1236-1311), Astronom Persia. Gambar itu menjelaskan kerumitan episiklus dalam model planet dari Ptolomeus.
Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Beberapa tahun yang silam, ada seorang ibu yang minta tolong dicarikan calon suami untuk putrinya.  Ibu yang taat beribadah ini tidak memberi syarat yang muluk-muluk.  Yang penting calon ini seorang muadzin!
Namun beruntunglah sang ibu itu.  Karena permintaan itu ditujukan kepada penghuni kos-kosannya yang kebetulan mahasiswa aktivis dakwah di sebuah kampus PTN terkenal, maka yang dijaring tentu saja para muadzin yang juga mahasiswa atau alumni kampus tersebut.  Jadilah akhirnya menantunya tidak cuma muadzin, tetapi juga seorang sarjana berprestasi, yang kebetulan sudah punya pekerjaan sehingga siap menikah.
Apa yang dilakukan sang ibu itu mungkin hal yang langka pada zaman sekarang.  Karena masyarakat sudah sangat kapitalistik, maka syarat yang diberikan ketika mencari pasangan atau menantu juga sangat berbau materi: punya pekerjaan (diutamakan PNS atau pegawai BUMN), bahkan sudah punya rumah dan kendaraan.  Tampang nomor dua.  Keshalihan nomor 20 …
Pada masa keemasan peradaban Islam, muadzin adalah calon menantu idaman.  Andai saat itu sudah ada lagunya, bunyinya akan begini, “Kalau ibu – pilih menantu – pilihlah dia – sang muadzinku – Dia idaman – pujaan hatiku – juru panggil jamaah shalat di kotaku …”
Kenapa?
Pertama, seorang muadzin, dan ini yang dimaksud adalah muadzin tetap, bukan muadzin sporadis, tentu saja dapat diasumsikan seorang yang shalih, karena dia pasti rajin shalat berjamaah dan akhlaknya tidak cacat di kaumnya.  Karena tentu saja aneh dan bakal dipersoalkan umat, kalau habis adzan malah tidak ikut shalat berjamaah, atau kadang-kadang bermaksiat.
Kedua, seorang muadzin, lebih diutamakan yang suaranya merdu.  Umat akan kecewa bila suara muadzinnya kurang enak didengar.  Kalau suaranya merdu, insya Allah, dalam kondisi marahpun, tetap merdu …
Ketiga, pada masa itu, ketika tv, radio, jam dan jadwal sholat abadi belum ada, setiap muadzin harus mengetahui waktu-waktu shalat dengan melihat langit.  Dia harus menguasai dasar-dasar ilmu falak.  Karena itu, seorang muadzin pastilah lulus suatu training astronomi dasar.  Jadi dia pastilah orang yang cukup cerdas.
Keempat, pada masa itu jihad fi sabilillah masih banyak dilakukan.  Jihad ke tengah lautan atau padang pasir, membutuhkan navigator yang baik, dan saat itu, ketika GPS belum ada dan kompas juga masih langka, astronomi menjadi andalan.  Dan siapa lagi yang punya bekal dasar astronomi, kecuali muadzin?  Maka banyak muadzin direkrut menjadi navigator armada jihad.  Jadilah muadzin ini veteran-veteran jihad.  Jadi seorang muadzin itu pastilah seorang pemberani.
Tak heran banyak gadis Muslimah yang mengidolakan sosok lelaki yang shalih, bersuara merdu, cerdas dan pemberani, seperti ibu mereka mengidolakan calon menantu seperti itu, dan itu adalah muadzin!
Untunglah, banyak ulama Islam yang mencurahkan hidupnya untuk memudahkan pekerjaan ini.  Mereka membangun dasar-dasar ilmu falak dan lebih dari itu juga astronomi untuk navigasi di medan jihad.
Kaum Muslim telah berburu ilmu ke Barat (Mesir, Yunani) maupun ke timur (Persia, India), mengintegrasikannya, memperkuat dasar-dasarnya dan mengembangkan jauh di atas para gurunya.  Pusat penelitian astronomi Islam yang paling tua bermula di kota Maragha.  Maka dalam sejarah ilmu pengetahuan muncullah “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha” – sebuah revolusi saintifik sebelum Rennaisance.
Ini berawal ketika Khalifah al-Ma’mun memerintahkan untuk mendirikan sebuah observatorium dan merekrut para astronom untuk melakukan pengumpulan data yang teliti guna mengoreksi data yang telah ada hingga saat itu.  Untuk itu para astronom meminta bantuan ahli-ahli mekanik untuk membuatkan sebuah alat pengamatan langit yang disebut astrolabs.  Hasil-hasil pengamatan langit yang lebih teliti ini menyelesaikan problem yang signifikan yang selalu timbul dalam model langit geosentris Ptolomeus.  Saat-saat tertentu, planet Mars tampak seperti bergerak mundur (retrograde motion).  Kalau saja model ini diubah menjadi heliosentris, maka gerak mundur planet Mars itu mudah sekali dipahami, yaitu tatkala bumi yang beredar mengelilingi matahari lebih cepat dari Mars, sedang “menyalip” Mars.  Tapi waktu itu, Ptolomeus yang percaya pada teori geosentris, mencoba memecahkan problema itu dengan lingkaran-lingkaran tambahan yang disebut episiklus.  Tetapi episiklus-episiklus ini makin lama menjadi makin rumit.
Maka sejumlah astronom Muslim seperti Ibnu al-Haytsam dan Ibnu al-Syatir menekuni kemungkinan bahwa bumi berputar pada porosnya serta kemungkinan adanya sistem tata surya yang berpusat di matahari.  Mereka membuat model planet non Ptolomeus.  Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus karena dasar empiris, tak hanya filosofis.  Ini pendapat yang luar biasa maju.  Nicolaus Copernicus baru berani mengemukakan pendapat ini di Eropa 500 tahun kemudian.  Buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus ternyata banyak mengadaptasi model langit dari Ibnu al-Syatir dan at-Tusi dari madzhab Maragha.  Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi juga senada dengan karya Ali al-Qusyji.
Pada abad-21 ini, fenomena langit seputar tata surya sudah bukan teori lagi, tetapi sudah menjadi fakta keras yang tidak dapat dibantah lagi.  Manusia berbagai bangsa sudah meluncurkan ribuan pesawat ruang angkasa dan satelit yang mengorbit bumi.  Terakhir, tahun 2009 para astronom dan insinyur aeronautika Iran sudah berhasil membuat satelit dan meluncurkannya dengan roket yang dibuat sendiri tanpa pertolongan negara lain.  Semua hasil eksperimen ini terus membuktikan bahwa bumi memang berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.
Anehnya, di abad ini pula, justru ada sejumlah orang yang ghirah Islamnya tinggi kembali meragukan pendapat bahwa bumi itu berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari.  Mereka berpendapat, bumi itu diam, dan matahari, bulan dan seluruh bintang-bintang beredar mengelilingi bumi.  Mereka menganggap pendapat ini didukung Alquran (antara lain QS 35:41, dan QS 21:33).
Padahal kebenaran sebuah fenomena alam yang dapat diamati atau diukur sama sekali tidak memerlukan dalil kitab suci manapun.  Rupanya para astronom seribu tahun yang lalu justru lebih jernih dalam memahami ayat Alquran sekaligus memahami fenomena alam.  Dengan itulah mereka dapat menjadikan astronomi sebagai modal untuk memuliakan Islam dan kaum Muslim.  Itu karena para astronom itu berangkat dari seorang muadzin!
Abu ar-Raihan al-Biruni menegaskan perbedaan antara astronomi dengan astrologi, sehingga menekankan pengamatan empiris yang akurat dan eksperimen untuk membuktikan kebenaran perhitungan astronomi.  Akurasi data itu juga membuat astrofisika dimulai.  Adalah Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir yang dari ribuan pengamatannya memastikan bahwa benda-benda langit mengalami hukum fisika yang sama seperti bumi.  Sedang Ibnu al-Haytsam, sang penemu fisika optika – yang menjadi dasar pembuatan lensa untuk teropong bintang - dari pengamatannya memastikan, bahwa apa yang hingga saat itu diyakini sebagai “lapisan-lapisan langit” ternyata bukanlah sesuatu yang padat, melainkan kurang rapat dibanding udara.  Jadi kalau di Alquran disebut “lapis langit pertama sampai ketujuh”, maka itu pasti terletak di alam ghaib yang tidak dapat diamati manusia.  Di situlah, ketika sains berakhir, dimulailah keimanan.[]
[82] Seputar Rencana Penyatuan Daerah WaktuPDFPrintE-mail
Monday, 11 June 2012 05:40
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Kalau hari ini seseorang mentransfer uang lewat Bank pada pukul 14.30 dari Jakarta ke Jayapura, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu keesokan harinya.  Dan kalau transfer itu dilakukan pada Jum’at siang, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu Senin pagi.  Hal ini karena perbedaan daerah waktu.  Pada pukul 14:30 di Jakarta (WIB), maka di Jayapura (WIT) sudah pukul 16:30, dan Bank sudah tutup.  Sekalipun sekarang orang bisa menggunakan ATM atau internet-banking, tetapi tetap saja untuk transaksi dalam jumlah besar, kliring hanya dapat dilakukan pada jam buka Bank.

Inilah, dan juga hal-hal sejenis yang terjadi di bursa atau Pasar Modal, yang mendasari gagasan penyatuan daerah waktu.  Ketika WIB, WITA dan WIT disatukan menjadi Waktu Indonesia (WI), di mana yang dijadikan acuan adalah WITA, maka jam 8 di Sabang adalah juga jam 8 di Merauke.  Eloknya lagi – menurut penggagasnya – WI ini juga sama dengan waktu Malaysia dan Singapura yang saat ini sudah sama dengan WITA, yaitu GMT+8.  Saat ini, meski Singapura ada di sebelah barat Batam, tetapi Singapura menggunakan waktu sejam lebih awal dari Batam.  Jadi, bila kita menggunakan WI, kita tak akan lagi dirugikan secara finansial dari “ketertinggalan kita dari Singapura”.  Selama ini, “di Singapura orang sudah rajin berdagang, kita baru berangkat ke kantor, atau bahkan masih tidur…”

Kerugian karena keterlambatan mencairkan transfer atau mengikuti perdagangan di bursa itu konon bisa bernilai trilyunan Rupiah, sehingga gagasan penyatuan daerah waktu akan menguntungkan kita Trilyunan Rupiah.  Tetapi benarkah demikian?
Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke sejauh 46 derajat Bujur, atau perbedaan waktu matahari sebesar rata-rata 184 menit.  Setiap perbedaan 1 derajat bujur setara dengan waktu 4 menit.  Ini artinya, jam astronomis (yaitu waktu terbit/terbenam matahari) di Sabang 3 jam 4 menit terlambat dibanding Merauke.

Jam astronomis ini langsung tampak dalam jadwal sholat dan puasa yang diikuti umat Muslim yang merupakan 85% rakyat Indonesia.  Dan jam astronomis ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada ritme biologis (yaitu jam tidur dan jam makan) nyaris seluruh rakyat Indonesia, baik mereka sholat ataupun tidak.  Apa ini artinya?
Kalau Waktu Indonesia diberlakukan dan mengacu pada WITA, maka perbedaan waktu matahari bagi tempat di ujung barat adalah 92 menit terlalu akhir, dan bagi tempat di ujung timur adalah 92 menit terlalu awal.

Secara praktis, dibandingkan dengan zona waktu yang dipakai sekarang, maka di WIB segalanya menjadi 1 jam terlalu awal.  Kalau biasanya sekolah mulai pukul 7 WIB, dan anak-anak berangkat ke sekolah pukul 6.30 WIB, maka setelah WI diberlakukan dan jadwal sekolah tetap, mereka akan berangkat pukul 5.30 WIB.  Di wilayah Jabotabek, pukul 5.30 itu matahari belum terbit!  Di Aceh bahkan waktu Shubuh belum masuk!

Sebaliknya di Papua, sekolah jadi mulai pukul 8 WIT.  Demikian juga, kantor yang semula masuk pukul 8 WIT, menjadi pukul 9 WIT, sudah sangat siang.  Kebalikannya, jam pulang yang semula – misalnya pukul 17 WIT, menjadi pukul 18 WIT.  Sudah cukup gelap, dan mungkin menyulitkan bagi perjalanan di desa-desa pelosok.
Dan kalau saat ini perkantoran biasa istirahat pukul 12-13 untuk istirahat, sholat dan makan, dan nanti jam istirahat ini tetap, maka setelah waktu Indonesia diberlakukan, di bekas WIB, waktu sholat dhuhur baru akan masuk pukul 13 WI.  Kalau mereka menunggu sholat dhuhur, maka mereka akan terlambat bekerja lagi.  Pemborosan.  Sementara bila waktu istirahatnya yang digeser menjadi katakanlah pukul 13-14, sedang masuk bekerja pukul 8, tentu laparnya sudah sulit tertahankan.  Jelas ini masalah.

Sebenarnyalah, di Malaysia atau Singapura yang zona waktunya sama dengan WITA, jam kerja dimulai pukul 9, istirahat pukul 12-13, dan pulang kantor pukul 17.  Praktis tak ada bedanya dengan WIB.  Jadi ternyata tidak benar mitos bahwa mereka “sudah berdagang, kita baru berangkat ke kantor”.

Dilihat dari manfaatnya, yang akan menikmati penyatuan daerah waktu hanya sektor keuangan, yang di Indonesia jumlahnya hanya 1,5 juta jiwa.  Sedang lebih dari seratus juta orang yang bekerja di sektor lainnya, atau puluhan juta anak sekolah akan mengalami kesulitan.  Kalangan penerbangan konon sudah keberatan dengan rencana ini karena pasti akan mengalami transisi dengan sekian banyak persoalan.

Jadi akan lebih bijaksana kalau tidak perlu ada penyatuan daerah waktu, tetapi cukup perubahan jam buka khusus sektor keuangan.

Zona waktu memang diperlukan ketika dunia sudah terhubung, terutama sejak ditemukannya telegrafi dan kereta api di akhir abad-19.  Tanpa zona waktu, maka setiap daerah akan memiliki jam sendiri-sendiri, sehingga pengaturan jadwal kereta api ataupun jam kirim telegrafi antar dua kota yang berjauhan jadi sangat sulit.  Dalam prakteknya, pengaturan zona waktu itu wajib mempertimbangkan aspek politis, ekonomi, budaya dan ritme hidup masyarakatnya, termasuk aspek ritual agama.[]